Karakteristik pemukiman kumuh di pinggiran sungai Musi Palembang
Karakteristik pemukiman kumuh di pinggiran sungai Musi Palembang

Karakteristik pemukiman kumuh di pinggiran sungai Musi Palembang

- 1
Karakteristik pemukiman kumuh di pinggiran sungai Musi Palembang

Permukiman kumuh merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh berbagai kota besar di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kota-kota di Indonesia yang sedang berkembang dan berfungsi sebagai pusat kegiatan telah mengundang penduduk sekitar untuk bermigrasi ke kota dengan harapan mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Hal ini tidak sejalan dengan terbatasnya fasilitas perumahan dan permukiman di perkotaan, sehingga mendorong masyarakat berpenghasilan rendah untuk tinggal di permukiman kumuh, termasuk kawasan bantaran sungai.

Permukiman di kawasan bantaran sungai yang tumbuh tidak terkendali telah membentuk kawasan kumuh dan menurunkan fungsi utama bantaran sungai.Sebuah penelitian yang ditujukan untuk mengetahui karakteristik permukiman kumuh bantaran sungai di Indonesia dengan studi kasus observasional di Kota Depok, Kota Palembang, Kota Surabaya, dan Kota Surakarta. Melalui metode deskriptif kualitatif dengan mendeskripsikan karakteristik permukiman kumuh di lokasi penelitian.

Pengumpulan data dilakukan dengan observasi langsung, studi pustaka, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik permukiman kumuh bantaran sungai di lokasi pengamatan dibentuk oleh beberapa aspek:

  • Aspek Fisik meliputi ketersediaan lahan, infrastruktur, dan bangunan rumah.
  • Aspek Sosial Ekonomi meliputi mata pencaharian masyarakat, kesadaran masyarakat setempat, suku, dan faktor kekerabatan.

Pengantar

Dewasa ini, kota mengalami perkembangan yang pesat, ditandai dengan meningkatnya perekonomian masyarakat, baik pada sektor formal maupun informal. Peningkatan ekonomi yang signifikan tampaknya memberikan mata pencaharian yang lebih baik bagi penduduk perkotaan. Urbanisasi besar-besaran menjadi megatrend di abad 21 yang membentuk pemukiman manusia. Urbanisasi mengubah tempat, populasi, ekonomi, dan lingkungan binaan.

Sejak awal 1950-an, pertumbuhan penduduk di Indonesia menunjukkan peningkatan yang tajam. Secara statistik, pertumbuhan penduduk menunjukkan perpindahan penduduk dari desa ke kota yang disebabkan oleh faktor ekonomi, politik, dan psikologis. Faktor ekonomi disebabkan oleh perkembangan kesempatan kerja di kota-kota terkait dengan perkembangannya yang sedang berlangsung. Faktor politik adalah situasi tidak aman di daerah, yang mengurangi produksi pertanian. Sedangkan faktor psikologis disebabkan oleh daya tarik kota dengan suasana kemandirian.

Dengan sarana dan prasarana yang lengkap, kota dipandang sebagai tujuan untuk meningkatkan taraf hidup. Tersedianya lapangan pekerjaan yang begitu banyak ditawarkan di perkotaan, khususnya di sektor perdagangan dan jasa, menarik minat masyarakat untuk mengadu nasib di sana. Sayangnya, tidak semua orang yang bermigrasi ke kota dapat tertampung di sektor ekonomi yang ada, terutama bagi orang-orang yang tidak terampil, yang hanya memiliki sedikit kesempatan untuk bekerja di sektor formal. Pada akhirnya, masyarakat yang tidak memenuhi kriteria untuk bekerja di sektor formal kemudian beralih ke sektor informal, seperti pedagang kaki lima, tukang becak, sopir angkot, pemulung, pengamen, dll. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa Kompleksitas pemanfaatan ruang berdampak pada penurunan kualitas lingkungan, termasuk kemiskinan dan berkembangnya permukiman kumuh.

Perkembangan permukiman kumuh dipicu oleh tiga faktor yaitu ekonomi, geografi dan psikologi. Permukiman kumuh dengan mayoritas masyarakat berpenghasilan rendah memilih lokasi rumah mereka yang dekat dengan tempat kerja mereka. Namun, ketersediaan lahan yang terjangkau masih sulit diperoleh. Faktor psikologis dapat dilihat dari karakter masyarakat yang merupakan “outdoor personality” yang senang melakukan aktivitas di luar rumah. Di Indonesia, Data persentase rumah tangga kumuh perkotaan (40% ke bawah) menunjukkan peningkatan jumlah rumah tangga kumuh perkotaan menjadi 13,86%, artinya dari 100 rumah tangga di Indonesia pada tahun 2018, 13-14 diantaranya adalah rumah tangga kumuh.

Perkembangan permukiman kumuh dipicu oleh tiga faktor yaitu ekonomi, geografi dan psikologi

Ketidakmampuan masyarakat mengakses pekerjaan di sektor formal menimbulkan masalah baru yaitu kemiskinan di perkotaan. Dengan standar harga kebutuhan pokok yang tinggi, sulit bagi masyarakat yang bermigrasi ke perkotaan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, terutama untuk tempat tinggal. Harga rumah yang tidak lagi terjangkau oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah, pada akhirnya memaksa mereka untuk memilih rumah yang tidak layak. Kota belum siap dengan sistem tata kota untuk menampung jumlah pendatang yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selanjutnya, ketidakmampuan kota untuk menerima, mengatur, dan memanfaatkan pendatang tersebut, pada akhirnya menciptakan aktivitas yang sangat heterogen dan permukiman kumuh yang berkembang di luar rencana.

Permukiman kumuh biasanya berada di tengah perkampungan padat penduduk, di sepanjang rel kereta api, di bawah jalan tol, bahkan di sepanjang bantaran sungai. Melihat kondisi permukiman kumuh, masyarakat miskin terpaksa hidup berdampingan dengan berbagai bahaya, mulai dari polusi, kebakaran, dan banjir. Selanjutnya permukiman tersebut dapat dikatakan sebagai permukiman yang berpotensi kumuh apabila tidak dikelola dengan baik karena kawasan padat penduduk, ketersediaan lahan yang terbatas, ruang publik yang terbatas, masyarakat yang lebih rentan secara sosial dan fisik, tergolong komunitas yang homogen, dan pola permukiman yang mengikuti arah sungai dan dinilai berdasarkan nilai budaya dan tradisional. Oleh karena itu, masalah permukiman kumuh harus segera diatasi. Masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah dapat langsung memiliki hak untuk mengakses perumahan dan juga jauh dari segala bahaya.

Ketidakmampuan masyarakat mengakses pekerjaan di sektor formal menimbulkan masalah baru yaitu kemiskinan di perkotaan

Ada lima elemen dalam pemukiman manusia: alam, manusia, masyarakat, kerang, dan jaringan. Ada tiga kebutuhan vital bagi masyarakat di kawasan permukiman berdasarkan tingkat pendapatan: identitas, keamanan, dan kesempatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, identitas menjadi semakin penting. Kelompok masyarakat berpenghasilan rendah di kawasan permukiman akan memiliki prioritas yang sangat tinggi untuk keluar dari situasi tersebut. Perumusan strategi dalam rangka penanganan permasalahan permukiman kumuh tentunya harus melihat lebih jauh pada akar permasalahan yang ada. Setiap lokasi permukiman kumuh tentunya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Pendekatan permukiman kumuh membutuhkan aspek multidimensi untuk memastikan penilaian yang lebih sistematis dan holistik. Oleh karena itu, penting untuk memahami kondisi fisik, sosial, dan ekonomi suatu daerah setiap kawasan kumuh untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan dalam menangani masalah permukiman kumuh.

Karakteristik pemukiman kumuh di pinggiran sungai Musi

Penelitian terkait permukiman bantaran sungai telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya, antara lain karakteristik permukiman multi etnis di bantaran sungai berdasarkan aspek fisik dan non fisik permukiman, pola permukiman multi etnis di bantaran sungai yang membentuk pola mengelompok dan mengikuti arah sungai, perencanaan sempadan sungai karena keterbatasan ruang dan mahalnya harga tanah di kota serta warisan dari orang tuanya, konsep waterfront terbentuk di suatu kawasan karena lokasinya adalah pelabuhan, pergudangan, dan kawasan perdagangan, interaksi masyarakat etnis dengan memanfaatkan keberadaan sungai sebagai situs.

Jurnal Ilmiah Karakteristik pemukiman kumuh di bantaran sungai kota besar di Indonesia

Penelitian-penelitian sebelumnya telah menganalisis fenomena permukiman di bantaran sungai dengan berbagai fokus dan perspektif yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik permukiman kumuh bantaran sungai di Indonesia dengan studi kasus observasional di Kota Depok, Palembang, Surabaya, dan Surakarta. Fenomena permukiman dapat memberikan gambaran tentang permukiman bantaran sungai dengan berbagai variasi dari aspek fisik, ekonomi, dan sosial budaya. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah mengenai aspek apa saja yang perlu diperhatikan dalam penanganan permasalahan permukiman kumuh khususnya permukiman kumuh di kawasan bantaran sungai. Dengan demikian, penelitian ini dapat melengkapi fenomena permukiman bantaran sungai lainnya di Indonesia

Diperbarui

1 Komentar

+ Tambahkan
Tes Komentar
Tambahkan Komentar
Karakteristik pemukiman kumuh di pinggiran sungai Musi Palembang

Karakteristik pemukiman kumuh di pinggiran sungai Musi Palembang